Oleh : BST. Wily Yulistiyo
Taruna Tk. III Akademi Kepolisian Den
45/BLB
I.
PENDAHULUAN
Republik Indonesia
merupakan salah satu negara dengan wilayah dan jumlah penduduk terbesar di
Dunia. Bukan hanya besar dalam wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia juga memiliki berbagai keragaman
yang menjadikan Indonesia begitu majemuk. Mulai dari Agama, Suku, dan Bahasa yang
beragam secara nyata menimbulkan interaksi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dinamis seiring perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Adanya interaksi yang demikian kemudian memungkinkan terjadinya berbagai resiko
dan ancaman konflik akibat perbedaan yang nyata tersebut. Jadi pada dasarnya
keberagaman yang ada di Indonesia merupakan potensi yang dapat sangat berharga
namun apabila tidak ada upaya dan kesadaran untuk menyatukan setiap perbedaan
maka potensi tersebut akan lebih mengarah pada hal yang kurang menguntungkan
bagi bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan adanya negara salah satunya adalah
untuk melindungi hak-hak warga negara nya dan mempertahankan kedaulatan. Dengan
demikian maka keamanan dan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah suatu hal yang mutlak di butuhkan oleh bangsa Indonesia.
Keamanan
dan ketertiban pada dasarnya harus di laksanakan dan di dukung oleh seluruh
elemen dalam suatu negara. Pemerintah membuat hukum, masyarakat melaksanakan
dan mematuhi hukum, serta adanya lembaga – lembaga yang menegakan hukum
manakala ada pelanggaran atau penyimpangan terhadap hukum yang berlaku. Dengan
berjalannya hukum dalam suatu negara maka akan tercipta keamanan dan ketertiban
sebagaimana menjadi kebutuhan bagi setiap warga negara. Untuk itu, demi
menjamin terlaksananya setiap hukum yang berlaku maka harus ada lembaga yang
bertugas untuk menegakan hukum serta menjaga keamanan dan ketertiban yaitu
polisi.
Sebelum
kemerdekaan Indonesia, sebenarnya sudah banyak di bentuk polisi – polisi di
berbagai daerah namun sifatnya hanya untuk bidang tertentu dan cenderung
kedaerahan seperti Polisi Hutan, Polisi Pangreh Praja, dan Polisi Lapangan. Namun
karena polisi – polisi tersebut masih di bawah penjajahan Jepang, pada
kenyataannya tugas mereka lebih di arahkan untuk melindungi kepentingan
Jepang. Tiap-tiap
kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian
bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih
berkuasa dari kepala Polisi.
Kurang lebih 3 tahun Masa Pendudukan Jepang di Indonesia, pada Agustus 1945
Jepang menyerah kepada sekutu yang di susul Kemerdekaan Bangsa Indonesia Pada
tanggal 17 Agustus 1945. Dengan kemerdekaan
itu secara resmi kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia yang merdeka.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 21 Agustus 1945 Komandan Polisi
Surabaya Letnan Satu Polisi Mochammad Jassin memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal
yang dilakukan serta untuk membangkitkan semangat kemerdekaan seluruh rakyat.
Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian
Negara (KKN). Pada saat itu Kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab
masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab
kepada Jaksa Agung.
Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/S.D./1946 Djawatan Kepolisian
Negara tidak lagi di bawah Mendagri namun bertanggung jawab langsung
kepada Perdana Menteri. Hingga saat ini Setiap Tanggl 1 Juli di peringati sebagai Hari
Bhayangkara.
Pada masa kabinet Presidential tanggal 4 Februari 1948
dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan
bahwa Kepolisian Negara dipimpin langsung oleh Presiden/Wakil Presiden dalam
kedudukannya sebagai Perdana Menteri/Wakil Perdana Menteri. Pada Masa RIS tahun
1950 R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R.
Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Pada Agustus 1950 kembali di bentuk Negara Kesatuan dengan berlakunya UUDS 1950
yang menganut Sistem Parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap R.S. Soekanto
yang bertanggung jawab kepada Presiden / Perdana Menteri.
Pada 1 Juli 1955, di resmikanlah Panji – panji
Kepolisian Negara. Pembuatan Panji – panji Kepolisian RI ini berdasarkan
perintah KKN R.S. Soekanto Nomor. 4/XVI/1955 tanggal 2 maret 1955. Dalam Upacara
penyerahan Panji – panji Kepolisian Negara oleh Presiden Soekarno, Kepala
Kepolisian Negara R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo atas nama seluruh Korps
Kepolisian Negara di saksikan oleh presiden dan para pejabat pemerintahan
mengikrarkan Tribrata sebagai kaul, sebagai cita – cita kepribadian Kepolisian
RI serta sebagai pedoman hidup bagi seluruh anggota Kepolisian Negara RI.
Tribrata ini di gagas oleh dua Guru Besar PTIK yaitu Prof. Mr. Djokosutono dan
Prof. Dr. Prijono. Untuk memudahkan pelaksanaannya Tribrata di rumuskan dalam
norma hidup konkret. Rumusan itu di mulai pada Mei 1958 oleh Kombes I jen
Mohammad Soerjopranoto di bandung dengan rumusan sebagai berikut :
1.
Polisi itu Abdi dari
pada Nusa dan Bangsa ( Rastra Sewakottama )
2.
Polisi itu Warga
Negara Utama dari pada Negara ( Nagara Yanotama )
3.
Polisi itu wajib
menjaga ketertiban pribadi dari pada rakyat ( Yana Anucasana Dharma )
Pada 5 Juli
1959 keluar Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pada 10 Juli
1959 keluar Keppres No. 153 / 1959 dimana Kepala Kepolisian Negara di beri
kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959
dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri
Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama
No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi
Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian. Pada saat itu
Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri atas Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Namun
R.S. Soekanto tidak setuju dengan alasan untuk menjaga profesionalisme
kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri dari
jabatan Kapolri / Menteri Muda Kepolisian.
Dengan Tap MPRS No.
II dan III tahun 1960 dinyatakan
bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres
No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut
Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam
bidang keamanan nasional.
Pada 1 Juli 1960, Presiden Soekarno dalam
paparannya pada Upacara peringatan Hari Bhayangkara memaparkan Catur Prasetya
sebagai Pedoman Kerja Kepolisian Negara. Artinya dalam melaksanakan tugas,
Anggota Kepolisian harus berpedoman pada 4 janji yaitu
1.
SATYA HAPRABU : Setia
kepada Negara dan Pimpinan
2.
HANYAKEN MUSUH :
Mengeyahkan musuh-musuh Negara dan masyarakat
3.
GINEUNG PRATIDINA :
Mengagungkan Negara
4.
TAN SATRISNA : Tidak
terikat trisna pada sesuatu
II.
PEMBAHASAN
UU NO. 13 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN – KETENTUAN
POKOK KEPOLISIAN NEGARA
Pada Tanggal 19 Juni 1961 DPR-GR
mengesahkan UU No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kepolisian
Negara. Penyusunan Undang-undang Pokok Kepolisian ini
didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
I/MPRS/ 1960 dan Nomor II MPRS/ 1960 (Lampiran A mengenai bidang Keamanan
/Pertahanan Nomor 42, Nomor 46 dan Nomor 48). Sesuai dengan Pasal 1
undang - undang ini, Polri merupakan
alat negara Penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam
negeri dengan menjunjung tinggi Hak asasi rakyat dan hukum Negara. Yang
mendasar adalah berdasarkan undang-undang ini, Polri merupakan Angkatan
Bersenjata ( Pasal 3 ). Pada saat itu pelaksanaan tugas kepolisian Negara
bersifat Preventif ( pencegahan ) dan Represif ( Penindakan ). Pada saat itu
Kepolisian Negara Republik Indonesia sama halnya dengan alat-alat kekuasaan
negara lainnya. Yaitu sebagai alat revolusi dalam
rangka Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk menuju tercapainya
masyarakat adil dan makmur bersama berdasarkan Pancasila atau masyarakat
Sosialis Indonesia guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat.
Pada masa Kapolri Jend. Pol. R. Soetjipto
Joedodihardjo, mulai berdiri Akademi Angkatan Kepolisian (1
Oktober 1965). Namun, pada 16 Desember 1965, pendidikan akademi
itu disatukan ke dalam pendidikan ABRI, dan namanya
menjadi AKABRI Bagian Kepolisian. Pada masa kepemimpinan beliau juga,
nama Departemen Angkatan Kepolisian ( DEPAK ) diubah menjadi Kementrian Angkatan
Kepolisian ( KEPAK ) dan diubah kembali menjadi Departemen Angkatan Kepolisian
( DEPAK ) sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang
susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III).
Pada Masa Kapolri Jend. Pol
Hoegeng Iman Santoso yang merupakan salah satu penanda tangan Petisi 50 ada
juga beberapa perubahan mendasar berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1969 seperti
berubahnya sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI ( PANGAK RI ) menjadi Kepala
Kepolisian RI ( KAPOLRI ) dan sebutan Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi
Markas Besar Kepolsian RI ( MABAK ). Kemudian Kebijakan beliau yang terkenal
adalah kebujaan Helmisasi.
Pada masa Kapolri Widodo Budidarmo ada satu
prestasi yang harus dicatat dalam lembar perjalanan kepolisian, yaitu ketika
Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum
Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu masing-masing adalah Polri, Pemda DKI
Jakarta dan Perum AK Jasa Raharja mencapai kata sepakat untuk membuka kantor
seatap di Polda. Program bersama ini dioperasikan dalam rangka pengurusan
surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB dan lain-lain.
Pada Masa itu penegakan hukum masih
berpedoman pada Het Herziene
Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) atau biasa disebut HIR
hingga kemudian pada masa Kapolri Jend. Pol. Awaludin Djamin, MPA. di sahkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menjadi
landasan Aparat penegak Hukum dalam beracara hingga saat ini menggantikan HIR
karena isinya yang merupakan Produ kolonial belanda yang di anggap telah usang
dan tidak manusiawi. Dalam hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan
pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu.
Pada pertengahan tahun 1980 an Kapolri
Jend. Pol. Anton Sudjarwo mengeluarkan kebijakan Rekonfu. Rekonfu adalah singkatan dari
kata reorganisasi, konsolidasi,
dan fungsionalisasi. Istilah reorganisasi, konsolidasi, dan
fungsionalisasi apabila disingkat yaitu menjadi rekonfu. Akronim rekonfu
(reorganisasi, konsolidasi, dan fungsionalisasi) merupakan singkatan/akronim
resmi dalam Bahasa Indonesia.
UU NO. 28
TAHUN 1997 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pada tanggal 7 Oktober 1997 di
sahkan UU no. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indoesia yang
mencabut UU No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kepolisian
Negara. Pada dasarnya Undang – undang ini untuk lebih memantapkan kedudukan, peranan, dan fungsi
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri, sebagai
alat negara penegak hukum, pengayom, dan pembimbing masyarakat yang
melaksanakan fungsi kepolisian dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak
hukum dan keadilan sebagaimana di amanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368).
Pada Pasal 2, mengatur tentang
penerapan prinsip – prinsip Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan tugas
kepolisian sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 serta Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia oleh PBB Tahun 1948. Dengan ini di harapkan Polisi semakin
Profesional dalam pelaksanaan tugas dan menjunjung tinggi Hak Asasi setiap
orang. Hingga kemudian di sahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang mana undang – undang itu semakin melindungi Hak Asasi setiap
Warga Negara. Perlindungan HAM pada masa itu merupakan tuntutan utama rakyat
indonesia akibat terjadi beberapa kasus pelanggaran HAM.
Pada masa berlakunya Undang – undang
ini terjadi peristiwa yang amat penting yang kemudian berdampak besar terhadap
bangsa Indonesia yaitu Reformasi. Jatuhnya pemerintahan Soeharto Pada Mei 1998
menyebabkan perubahan yang amat besar dan mendasar khususnya bagi institusi
Polri.
Pada tanggal 1
April 1999 berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang
Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara RI dari
Angkatan Bersenjata RI, dimulailah kemandirian Kepolisian Negara Republik
Indonesia di mana pada saat itu terpisah dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), selaku bagian daripada proses reformasi.
Selanjutnya Pada 1 Juli 2000
Presiden mengeluarkan Keppres No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Dalam Keppres ini di tegaskan bahwa Kepolisian
Negara Republik Indonesia langsung di bawah Presiden dan Kapolri bertanggung
jawab Kepada Presiden. Kemudian Keputusan ini juga mengamanatkan untuk menyusun
Rancangan Undang – undang pengganti UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia karena isinya sudah tidak sesuai lagi dengan Dinamika
Ketatanegaraan di Indonesia.
Pada Tanggal 18 Agustus 2000 di
tetapkan amandemen yang ke dua Undang – Undang Dasar Negara Indonesia Tahun
1945 yang mana terjadi perubahan pada Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan.
Pada Pasal 30 ayat ( 4 ) berbunyi “ Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugs
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum “. Dengan demikian
maka Kedudukan dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas di
atur dalam UUD 1945. Kemudian Pada Sidang dan hari yang sama di tetapkan pula
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( TAP MPR ) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang memisahkan TNI dan Polri secara
kelembagaan. Selanjutnya di tetapkan pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat ( TAP MPR ) No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam ketetapan ini di atur bahwa anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum (
Pasal 7 ayat (4) ) dan di atur ada nya Lembaga Kepolisian Nasional yang
membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia ( Pasal 8 ). Kemudian pada Pasal 10 di atur bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia tidak terlibat dalam Politik praktis dan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tidak memiliki hak pilih dan di pilih namun anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di Luar kepolisian
setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.
UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Sebagaimana tertuang dalam Keppres
No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
mengamanatkan adanya Undang – undang pengganti UU No. 28 Tahun 1997 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia karena muatannya yang tidak sesuai lagi
dengan sistem Ketatanegaraan Indonesia maka pada tanggal 8 Januari 2002 di
sahkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang
ini diharapkan dapat memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasatya sebagai
sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Disusun
nya Undang – undang ini telah di landaskan pada berbagai dinamika kehidupan
bangsa seperti Perlindungan HAM sebagaimana di atur dalam UU No. 5 Tahun 1998
tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Sehingga setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang - undang di atas.
Dalam Pasal 13 diatur tentang Tugas
Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu :
a. memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dimana urutan di atas bukan
menunjukan adanya skala prioritas namun semua nya sama penting dan merupakan
tugas yang utama bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian
pada pasal 18 berbunyi:
(1) Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu
dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut merupakan dasar
hukum bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
Diskresi Kepolisian. Yaitu tindakan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
atas dasar penilaiannya sendiri dalam keadaan tertentu demi kepentingan
masyarakat umum.
Substansi lain yang baru dalam Undang
– undang ini adalah adanya Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas ) yang
bertugas membantu Presiden dalam menentukan arah kebijakan Polri serta
memerikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana
di amanatkan dalam TAP MPR No. VII / MPR / 2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian Undang – undang ini semakin
mempertegas bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat netral dan
tidak terlibat politik aktif serta Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
tidak memiliki Hak Pilih dan Hak untuk dipilih.
Pada pasal 34 dan pasal 35 di atur
tentang Kode Etik Profesi Polri ( KEPP ) yang kemudian di wujudkan dalam
Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia selanjutnya di perbarui dengan Peraturan Kapolri No. 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode
Etik ini merupakan pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
lingkungannya.
Pada Tanggal 24 Juni 2002 terbitlah
Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/17/VI/2002 yang memutuskan rumusan Tri
Brata yang baru yang berbunyi sebagai berikut :
TRI BRATA
Kami Polisi Indonesia :
1. Berbakti kepada Nusa dan Bangsa
dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan
dan kemanusiaan dalam menegakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945.
3. Senantiasa melindungi mengayomi dan
melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Demikian hal nya dengan Catur Prasetya dengan rumusan baru yang
di rumuskan mulai 24 April – 23 Juni 2004 dan di sahkan dengan Keputusan Kapolri
No. Pol : Kep/39/IX/2004 tanggal 9 September 2004 tentang Pengesahan Pemaknaan
Baru Catur Prasetya. Dengan rumusan sebagai berikut :
CATUR PRASETYA
Sebagai insan Bhayangkara kehormatan saya adalah berkorban
demi masyarakat Bangsa dan Negara untuk :
1. Meniadakan segala bentuk gangguan
keamanan
2. Menjaga keselamatan jiwa raga, harta
benda dan hak asasi manusia
3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum
4. Memelihara perasaan tenteram dan
damai
Dalam Perjalanannya kemudian ada
beberapa kebijakan penting dari Kapolri setelah Undang – undang ini berlaku
yaitu Grand Strategy Polri 2005 –
2025 yang dicanangkan oleh Kapolri Jend. Pol. Drs. Sutanto. Grand Strategy yang di maksud adalah Trust Building (2005–2009), Partnership Building (2010–2014), dan Strive for Excellent (2015-2025).
Kemudian ada juga Program Quick Wins oleh Kapolri Jend. Pol. Drs. Bambang
Hendarso Danuri yang merupakan Program unggulan Polri dalam rangka Akselerasi
untuk mencapai sasaran Polri 2005 – 2009.
Dalam rangka meningkatkan
Profesionalitas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terutama dalam hal
Penyidikan maka melalui Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2012 tentang Rekruitmen
dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Polri
berpangkat serendah – rendahnya Inspektur Polisi Tk. II ( IPDA ) dan berijasah
Sarjana Strata 1 ( S 1 ) . Hal ini sebagai salah satu terobosan utama polri
untuk meningkatkan kualifikasi seorang Penyidik.
Kemudian salah hal yang menonjol
berikutnya adalah dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Polri Pasal 7 ayat ( 3 ) di atur bahwa Seorang bawahan berhak untuk menolak
perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma
kesusilaan. Sehingga dengan di aturnya hal tersebut dalam Kode Etik Profesi
Polri, maka semakin meningkatkan transparansi dan pengawasan bawahan terhadap
atasannya.
III.
PENUTUP
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat utama
negara yang bertanggung jawab dalam Keamanan Negara dan Penegakan Hukum di
Indonesia. Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia, Polri telah menunjukan eksistensi
dan turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan serta mempertahankan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun
dalam perjalanannya begitu banyak dinamika yang terjadi. Mulai dari
kedudukannya yang di bawah kemendagri, di bawah ABRI hingga berkedudukan
langsung di bawah Presiden. Kemudian perubahan Tri Brata dan Catur Prasetya
sebagai pedoman hidup dan pedoman kerja anggota Polri. Hingga perubahan dasar
Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun demikian, semua dinamika dan
perjalanan panjang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Menjaga Keamanan
dan menegakan hukum di Republik indonesia menunjukan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia semakin matang dan profesional dalam melaksanakan tugas –
tugas kepolisian sebagaimana di amanatkan dalam Undang – undang. Hal ini di
tunjukan dengan prestasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang luar biasa
terutama di bidang terorisme dan Narkotika. Bahkan prestasi ini di akui oleh
dunia Internasional.
Dengan demikian maka hendaknya seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan
turut serta dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban serta mendukung
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas – tugas
kepolisian demi tercapainya cita – cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Pancasila.