Friday, October 24, 2014

Wilz Greet from celebes


Assalamu Allaikum Wr WB
Selamat malam kawan, very very long time no see...
Sekian waktu kehilangan inspirasi untuk menulis, namun hari ini perkenankan kiranya saya hadir kembali sekedar untuk mengabarkan para laba-laba yang mulai bersarang di blog saya, ya...saya masih hidup...
Kini saya ada di tempat yang cukup jauh dari tanah kelahiran dan kampung halaman (saya lahir dan besar di tempat yang berbeda). Anggaplah saya mendapat kejutan waktu pengumuman penempatan kerja dapet kota nan jauh di tengah agak ke timur Republik ini. Kenapa kejutan? Mungkin karena memang nama kota nan indah ini ngga ada di ekspektasi sebelumnya. Kenapa kota nan indah? Ya, saya sudah sebulan lebih disini dan saya menikmatinya...Alhamdulilah...
Sedikit bercerita ketika melangkah keluar rumah tertanggal 10 September 2014 sekitar jam 3 sore, saya bawa satu koper ukuran 22 inchi berat +- 40 kilo, satu travel bag yg mencuri hatiku waktu jalan2 di gramedia Sri Ratu PeWeTe, tas stuntmerch made in bandung hasil nabung waktu pasis, dan tentu saja pedang perwira khas paja akpol...ya, itu berat mas mbak sekalian...tapi ujian belum selesai sampai disitu dan selanjutnya kita bicar
a tentang perasaan seorang yang mungkin masih membutuhkan keluarga, kini harus pergi, jauh, dan bahkan ngga bisa untuk sekedar memastikan kapan bisa pulang..itu lebih berat lagi bapak ibu sekalian, tapi sudahlah, mungkin saya terlalu hanya terlalu mendramatisir keadaan..
Selanjutnya terlalu panjang untuk dijabarkan, mari kita skip dan sampailah saya pada hari ini..dimana saya merasa bersyukur dan berbahagia bahwa begitu indah jalan yang diberikan Allah kepada saya hingga saya sampai disini dengan segala keindahan, ketenangan, kelancaran dan kebahagiaan dalam menjalani ini semua. Saya sendiri ngga nyangka bisa seperti itu, saya hanya berfikir bahwa mengeluh bukan hal yang menyenangkan. Saya bersyukur bisa menambah teman dan saudara2 disini, paling tidak untuk menghilangkan rasa kesendirian yang muncul pada awalnya. Saya bersyukur keluarga dan saudara yang jauh disana diberi kesehatan. Saya bersyukur punya seseorang dan sahabat-sabahat yang selalu memotivasi. Alhamdulilah. Selanjutnya mari kita berjuang kawan, saya kira masa depan masih ingin bersahabat dengan para pejuang (*orang kita bilang para spartaannn)...
Jadi tenanglah, I’m fine here..seperti itu pula kuharap kalian disana wahai orang-orang yang ku sayangi..

Monday, June 3, 2013

POLISI DAN NARKOTIKA


Republik Indonesia merupakan Negara Hukum yang dengan tegas di atur dalam kontitusi yaitu pada pasal 1 ( 3 ) UUD 1945. Dalam upaya penegakan hukum di indonesia, ada 3 lembaga yang terlibat di dalamnya yang biasa disebut dengan criminal justice system yaitu lembaga Kepolisian, lembaga kejaksaan dan lembaga kehakiman.
Lembaga Kepolisian di Indonesia tidak lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Polri ). Polri merupakan ujung tombak dari penegakan hukum di Indonesia karena merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, dasar hukum Polri telah di amanatkan dalam UUD 1945 Pasal 30 ( 4 ) yang mengatur tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian di atur pula dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU ini merupakan dasar hukum yang di gunakan hingga saat ini di jadikan dasar bagi kepolisian setelah resmi berpisah dari ABRI melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU No. 2 Tahun 2002, di sebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara Kamtibmas, menegakan hukum, serta melindungi melayani dan mengayomi masyarakat. Dalam upaya Polri melaksanakan tugas pokoknya, Polri di berikan berbagai kewenangan mulai dari tindakan paksa dalam proses penyidikan, penggunaan kekerasan dan senjata, hingga diskresi kepolisian yang memungkinkan anggora Polri melakukan tindakan lain sesuai penilaiannya sendiri demi kepetingan umum. Hal ini menunjukan bahwa Polri memiliki kewenangan yang luas dalam melaksanakan tugasnya menjaga keamanan negara.
Dalam hal penegakan hukum pidana, Polri menggunakan KUHP dan KUHAP sebagai dasar. KUHP merupakan hukum pidana materil sedangkan KUHAP merupakan hukum pidana formil. Artinya dalam beracara, dasar hukum yang di gunakan adalah UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sebagaimana di atur dalam pasal 1 ( 1 ) KUHAP bahwa Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Begitu pula diatur dalam pasal 6 tentang ketentuan kepangkatan penyidik Polri yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010. Atas ketentuan tersebut maka Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peran yang amat penting dalam penegakan hukum pidana di Negara Indonesia.
              
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan ( Pasal 1 ( 1 )  UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika ). Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa efek ataupun reaksi yang ditimbulkan dari narkotika sangat berbahaya apabila digunakan tidak semestinya. Narkotika pada dasarnya merupakan obat yang digunakan untuk kepentingan medis. Namun bagi orang-orang tertentu efek yang demikian dapat dimanfaatkan untuk hal yang tidak semestinya seperti untuk menghilangkan strees dan sebagainya. Padahal hal ini justru akan amat merugikan bagi penggunanya karena akan menimbulkan gangguan kesehatan dan kecanduan sehingga akan mempengaruhi kehidupannya secara menyeluruh terhadap kesehatan dan lingkungan sosialnya. Inilah mengapa Narkotika diharamkan peredaran dan penggunaannya secara ilegal karena ini akan berpotensi besar dalam merusak generasi muda bangsa. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia pun demikian halnya. Atas penjelasan maka penggunaan dan peredaran narkotika yang tidak sesuai ketentuannya merupakan pelanggaran hukum pidana dande dengan jelas dilarang oleh undang-undang.
Pelanggaran ketentuan yang berkaitan dengan narkotika merupakan pelanggaran hukum pidana sebagaimana penjelasan di atas maka sesuai dengan sistem peradilan dan hukum pidana di Indonesia, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebab Polri merupakan lembaga penegak hukum yang harus melakukan  tindakan-tindakan kepolisian terhadap setiap pelanggaran berkaitan dengan narkotika. Tindakan kepolisian yang dapat di lakukan berkaitan dengan pelanggaran berkaitan  narkotika antara lain :
1.      Penyuluhan bahaya narkotika kepada masyarakat terutama generasi muda dan pelajar
2.      Pencegahan pengedaran narkotika
3.      Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terkait narkotika
4.      Kerjasama dengan pemerintah mengenai upaya rehabilitasi dan penanggulangan bahaya narkotika
Dengan demikian maka peran Polri dalam penanggulangan bahaya narkotika sangat dominan karena memiliki wewenang yang luas mulai dari pencegahan hingga proses penyidikannya. Di kesatuan wilayah pun ada Satuan Narkoba yang secara secara khusus menangani masalah narkotika. Bahkan di Badan Narkotika Nasional pun pejabat utama nya di isi oleh pejabat tinggi Polri. Maka dari penjelasan di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam penanggulangan bahaya narkotika di Indonesia.

 BST. WILY YULISTIYO
Taruna Tk. III Akpol Den 45 / BLB

Wednesday, May 29, 2013

RESPECT BROTHER !

Setelah hampir 3 tahun saya menempuh pendidikan di tempat ini, mungkin saya ingin sedikit memberikan pesan bagi para penerus...
" ADA SATU HAL YANG LANGKA DISINI TAPI BUKANLAH HAL YANG SULIT UNTUK DILAKUKAN, MENGHARGAI ORANG LAIN..."
cukup satu hal itu dulu saja ade asuh, pedomani dan lakukan dengan ikhlas...insyaallah suatu saat nanti itu akan membantu hidupmu...

Thursday, May 23, 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN KEPOLISIAN DI INDONESIA




Oleh : BST. Wily Yulistiyo
Taruna Tk. III Akademi Kepolisian Den 45/BLB

I.                 PENDAHULUAN
Republik Indonesia merupakan salah satu negara dengan wilayah dan jumlah penduduk terbesar di Dunia. Bukan hanya besar dalam wilayah dan jumlah penduduk,  Indonesia juga memiliki berbagai keragaman yang menjadikan Indonesia begitu majemuk. Mulai dari Agama, Suku, dan Bahasa yang beragam secara nyata menimbulkan interaksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinamis seiring perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia. Adanya interaksi yang demikian kemudian memungkinkan terjadinya berbagai resiko dan ancaman konflik akibat perbedaan yang nyata tersebut. Jadi pada dasarnya keberagaman yang ada di Indonesia merupakan potensi yang dapat sangat berharga namun apabila tidak ada upaya dan kesadaran untuk menyatukan setiap perbedaan maka potensi tersebut akan lebih mengarah pada hal yang kurang menguntungkan bagi bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan adanya negara salah satunya adalah untuk melindungi hak-hak warga negara nya dan mempertahankan kedaulatan. Dengan demikian maka keamanan dan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu hal yang mutlak di butuhkan oleh bangsa Indonesia.
     Keamanan dan ketertiban pada dasarnya harus di laksanakan dan di dukung oleh seluruh elemen dalam suatu negara. Pemerintah membuat hukum, masyarakat melaksanakan dan mematuhi hukum, serta adanya lembaga – lembaga yang menegakan hukum manakala ada pelanggaran atau penyimpangan terhadap hukum yang berlaku. Dengan berjalannya hukum dalam suatu negara maka akan tercipta keamanan dan ketertiban sebagaimana menjadi kebutuhan bagi setiap warga negara. Untuk itu, demi menjamin terlaksananya setiap hukum yang berlaku maka harus ada lembaga yang bertugas untuk menegakan hukum serta menjaga keamanan dan ketertiban yaitu polisi.
     Sebelum kemerdekaan Indonesia, sebenarnya sudah banyak di bentuk polisi – polisi di berbagai daerah namun sifatnya hanya untuk bidang tertentu dan cenderung kedaerahan seperti Polisi Hutan, Polisi Pangreh Praja, dan Polisi Lapangan. Namun karena polisi – polisi tersebut masih di bawah penjajahan Jepang, pada kenyataannya tugas mereka lebih di arahkan untuk melindungi kepentingan Jepang.  Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala Polisi.
Kurang lebih 3 tahun Masa Pendudukan Jepang di Indonesia, pada Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu yang di susul Kemerdekaan Bangsa Indonesia Pada tanggal 17 Agustus 1945.  Dengan kemerdekaan itu secara resmi kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia yang merdeka.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 21 Agustus 1945 Komandan Polisi Surabaya Letnan Satu Polisi Mochammad Jassin memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan serta untuk membangkitkan semangat kemerdekaan seluruh rakyat. Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pada saat itu Kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/S.D./1946 Djawatan Kepolisian Negara tidak lagi di bawah Mendagri namun bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Hingga saat ini Setiap Tanggl 1 Juli di peringati sebagai Hari Bhayangkara.
Pada masa kabinet Presidential tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Kepolisian Negara dipimpin langsung oleh Presiden/Wakil Presiden dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri/Wakil Perdana Menteri. Pada Masa RIS tahun 1950 R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta. Pada Agustus 1950 kembali di bentuk Negara Kesatuan dengan berlakunya UUDS 1950 yang menganut Sistem Parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada Presiden / Perdana Menteri.
Pada 1 Juli 1955, di resmikanlah Panji – panji Kepolisian Negara. Pembuatan Panji – panji Kepolisian RI ini berdasarkan perintah KKN R.S. Soekanto Nomor. 4/XVI/1955 tanggal 2 maret 1955. Dalam Upacara penyerahan Panji – panji Kepolisian Negara oleh Presiden Soekarno, Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo atas nama seluruh Korps Kepolisian Negara di saksikan oleh presiden dan para pejabat pemerintahan mengikrarkan Tribrata sebagai kaul, sebagai cita – cita kepribadian Kepolisian RI serta sebagai pedoman hidup bagi seluruh anggota Kepolisian Negara RI. Tribrata ini di gagas oleh dua Guru Besar PTIK yaitu Prof. Mr. Djokosutono dan Prof. Dr. Prijono. Untuk memudahkan pelaksanaannya Tribrata di rumuskan dalam norma hidup konkret. Rumusan itu di mulai pada Mei 1958 oleh Kombes I jen Mohammad Soerjopranoto di bandung dengan rumusan sebagai berikut :
1.     Polisi itu Abdi dari pada Nusa dan Bangsa ( Rastra Sewakottama )
2.     Polisi itu Warga Negara Utama dari pada Negara ( Nagara Yanotama )
3.     Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi dari pada rakyat ( Yana Anucasana Dharma )
Pada 5 Juli 1959 keluar Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pada 10 Juli 1959 keluar Keppres No. 153 / 1959 dimana Kepala Kepolisian Negara di beri kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian. Pada saat itu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri atas  Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Namun R.S. Soekanto tidak setuju dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri dari jabatan Kapolri / Menteri Muda Kepolisian.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
     Pada 1 Juli 1960, Presiden Soekarno dalam paparannya pada Upacara peringatan Hari Bhayangkara memaparkan Catur Prasetya sebagai Pedoman Kerja Kepolisian Negara. Artinya dalam melaksanakan tugas, Anggota Kepolisian harus berpedoman pada 4 janji yaitu
1.     SATYA HAPRABU : Setia kepada Negara dan Pimpinan
2.     HANYAKEN MUSUH : Mengeyahkan musuh-musuh Negara dan masyarakat
3.     GINEUNG PRATIDINA : Mengagungkan Negara
4.     TAN SATRISNA : Tidak terikat trisna pada sesuatu

II.               PEMBAHASAN
UU NO. 13 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN – KETENTUAN POKOK KEPOLISIAN NEGARA
     Pada Tanggal 19 Juni 1961 DPR-GR mengesahkan UU No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Penyusunan Undang-undang Pokok Kepolisian ini didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/ 1960 dan Nomor II MPRS/ 1960 (Lampiran A mengenai bidang Keamanan /Pertahanan Nomor 42, Nomor 46 dan Nomor 48). Sesuai dengan Pasal 1 undang -  undang ini, Polri merupakan alat negara Penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri dengan menjunjung tinggi Hak asasi rakyat dan hukum Negara. Yang mendasar adalah berdasarkan undang-undang ini, Polri merupakan Angkatan Bersenjata ( Pasal 3 ). Pada saat itu pelaksanaan tugas kepolisian Negara bersifat Preventif ( pencegahan ) dan Represif ( Penindakan ). Pada saat itu Kepolisian Negara Republik Indonesia sama halnya dengan alat-alat kekuasaan negara lainnya. Yaitu sebagai alat revolusi dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur bersama berdasarkan Pancasila atau masyarakat Sosialis Indonesia guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat.  
     Pada masa Kapolri Jend. Pol. R. Soetjipto Joedodihardjo, mulai berdiri Akademi Angkatan Kepolisian (1 Oktober 1965). Namun, pada 16 Desember 1965, pendidikan akademi itu disatukan ke dalam pendidikan ABRI, dan namanya menjadi AKABRI Bagian Kepolisian. Pada masa kepemimpinan beliau juga, nama Departemen Angkatan Kepolisian ( DEPAK ) diubah menjadi Kementrian Angkatan Kepolisian ( KEPAK ) dan diubah kembali menjadi Departemen Angkatan Kepolisian ( DEPAK ) sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III).
     Pada Masa Kapolri Jend. Pol Hoegeng Iman Santoso yang merupakan salah satu penanda tangan Petisi 50 ada juga beberapa perubahan mendasar berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1969 seperti berubahnya sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI ( PANGAK RI ) menjadi Kepala Kepolisian RI ( KAPOLRI ) dan sebutan Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi Markas Besar Kepolsian RI ( MABAK ). Kemudian Kebijakan beliau yang terkenal adalah kebujaan Helmisasi.
     Pada masa Kapolri Widodo Budidarmo ada satu prestasi yang harus dicatat dalam lembar perjalanan kepolisian, yaitu ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu masing-masing adalah Polri, Pemda DKI Jakarta dan Perum AK Jasa Raharja mencapai kata sepakat untuk membuka kantor seatap di Polda. Program bersama ini dioperasikan dalam rangka pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB dan lain-lain.
     Pada Masa itu penegakan hukum masih berpedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) atau biasa disebut HIR hingga kemudian pada masa Kapolri Jend. Pol. Awaludin Djamin, MPA. di sahkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menjadi landasan Aparat penegak Hukum dalam beracara hingga saat ini menggantikan HIR karena isinya yang merupakan Produ kolonial belanda yang di anggap telah usang dan tidak manusiawi. Dalam hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu.
     Pada pertengahan tahun 1980 an Kapolri Jend. Pol. Anton Sudjarwo mengeluarkan kebijakan Rekonfu. Rekonfu adalah singkatan dari kata reorganisasi, konsolidasi, dan fungsionalisasi.  Istilah reorganisasi, konsolidasi, dan fungsionalisasi apabila disingkat yaitu menjadi rekonfu. Akronim  rekonfu (reorganisasi, konsolidasi, dan fungsionalisasi) merupakan singkatan/akronim resmi dalam Bahasa Indonesia.
UU NO. 28 TAHUN 1997 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pada tanggal 7 Oktober 1997  di sahkan UU no. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indoesia yang mencabut UU No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Pada dasarnya Undang – undang ini untuk lebih memantapkan kedudukan, peranan, dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri, sebagai alat negara penegak hukum, pengayom, dan pembimbing masyarakat yang melaksanakan fungsi kepolisian dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan sebagaimana di amanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368).
Pada Pasal 2, mengatur tentang penerapan prinsip – prinsip Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 serta Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB Tahun 1948. Dengan ini di harapkan Polisi semakin Profesional dalam pelaksanaan tugas dan menjunjung tinggi Hak Asasi setiap orang. Hingga kemudian di sahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana undang – undang itu semakin melindungi Hak Asasi setiap Warga Negara. Perlindungan HAM pada masa itu merupakan tuntutan utama rakyat indonesia akibat terjadi beberapa kasus pelanggaran HAM.  
Pada masa berlakunya Undang – undang ini terjadi peristiwa yang amat penting yang kemudian berdampak besar terhadap bangsa Indonesia yaitu Reformasi. Jatuhnya pemerintahan Soeharto Pada Mei 1998 menyebabkan perubahan yang amat besar dan mendasar khususnya bagi institusi Polri.
Pada tanggal 1 April 1999 berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara RI dari Angkatan Bersenjata RI, dimulailah kemandirian Kepolisian Negara Republik Indonesia di mana pada saat itu terpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), selaku bagian daripada proses reformasi.
Selanjutnya Pada 1 Juli 2000 Presiden mengeluarkan Keppres No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Keppres ini di tegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia langsung di bawah Presiden dan Kapolri bertanggung jawab Kepada Presiden. Kemudian Keputusan ini juga mengamanatkan untuk menyusun Rancangan Undang – undang pengganti UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia karena isinya sudah tidak sesuai lagi dengan Dinamika Ketatanegaraan di Indonesia.
Pada Tanggal 18 Agustus 2000 di tetapkan amandemen yang ke dua Undang – Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 yang mana terjadi perubahan pada Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan. Pada Pasal 30 ayat ( 4 ) berbunyi “ Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugs melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum “. Dengan demikian maka Kedudukan dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas di atur dalam UUD 1945. Kemudian Pada Sidang dan hari yang sama di tetapkan pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( TAP MPR ) No. VI/MPR/2000  tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang memisahkan TNI dan Polri secara kelembagaan. Selanjutnya di tetapkan pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( TAP MPR ) No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam ketetapan ini di atur bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum ( Pasal 7 ayat (4) ) dan di atur ada nya Lembaga Kepolisian Nasional yang membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Pasal 8 ). Kemudian pada Pasal 10 di atur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak terlibat dalam Politik praktis dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak memiliki hak pilih dan di pilih namun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di Luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.
UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengamanatkan adanya Undang – undang pengganti UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia karena muatannya yang tidak sesuai lagi dengan sistem Ketatanegaraan Indonesia maka pada tanggal 8 Januari 2002 di sahkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Disusun nya Undang – undang ini telah di landaskan pada berbagai dinamika kehidupan bangsa seperti Perlindungan HAM sebagaimana di atur dalam UU No. 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sehingga setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang - undang di atas.
Dalam Pasal 13 diatur tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu :
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dimana urutan di atas bukan menunjukan adanya skala prioritas namun semua nya sama penting dan merupakan tugas yang utama bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
     Kemudian pada pasal 18 berbunyi:
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut merupakan dasar hukum bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan Diskresi Kepolisian. Yaitu tindakan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atas dasar penilaiannya sendiri dalam keadaan tertentu demi kepentingan masyarakat umum.
Substansi lain yang baru dalam Undang – undang ini adalah adanya Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas ) yang bertugas membantu Presiden dalam menentukan arah kebijakan Polri serta memerikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana di amanatkan dalam TAP MPR No. VII / MPR / 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian Undang – undang ini semakin mempertegas bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat netral dan tidak terlibat politik aktif serta Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak memiliki Hak Pilih dan Hak untuk dipilih.
Pada pasal 34 dan pasal 35 di atur tentang Kode Etik Profesi Polri ( KEPP ) yang kemudian di wujudkan dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya di perbarui dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode Etik ini merupakan pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
Pada Tanggal 24 Juni 2002 terbitlah Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/17/VI/2002 yang memutuskan rumusan Tri Brata yang baru yang berbunyi sebagai berikut :
TRI BRATA
Kami Polisi Indonesia :
1.     Berbakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.     Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945.
3.     Senantiasa melindungi mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Demikian hal nya dengan Catur Prasetya dengan rumusan baru yang di rumuskan mulai 24 April – 23 Juni 2004 dan di sahkan dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/39/IX/2004 tanggal 9 September 2004 tentang Pengesahan Pemaknaan Baru Catur Prasetya. Dengan rumusan sebagai berikut :
CATUR PRASETYA
Sebagai insan Bhayangkara kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat Bangsa dan Negara untuk :
1.     Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan
2.     Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia
3.     Menjamin kepastian berdasarkan hukum
4.     Memelihara perasaan tenteram dan damai
Dalam Perjalanannya kemudian ada beberapa kebijakan penting dari Kapolri setelah Undang – undang ini berlaku yaitu Grand Strategy Polri 2005 – 2025 yang dicanangkan oleh Kapolri Jend. Pol. Drs. Sutanto. Grand Strategy yang di maksud adalah Trust Building (2005–2009), Partnership Building (2010–2014), dan Strive for Excellent (2015-2025). Kemudian ada juga Program Quick Wins oleh Kapolri Jend. Pol. Drs. Bambang Hendarso Danuri yang merupakan Program unggulan Polri dalam rangka Akselerasi untuk mencapai sasaran Polri 2005 – 2009.
Dalam rangka meningkatkan Profesionalitas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terutama dalam hal Penyidikan maka melalui Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2012 tentang Rekruitmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Polri berpangkat serendah – rendahnya Inspektur Polisi Tk. II ( IPDA ) dan berijasah Sarjana Strata 1 ( S 1 ) . Hal ini sebagai salah satu terobosan utama polri untuk meningkatkan kualifikasi seorang Penyidik.
Kemudian salah hal yang menonjol berikutnya adalah dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri Pasal 7 ayat ( 3 ) di atur bahwa Seorang bawahan berhak untuk menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Sehingga dengan di aturnya hal tersebut dalam Kode Etik Profesi Polri, maka semakin meningkatkan transparansi dan pengawasan bawahan terhadap atasannya.
III.              PENUTUP
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat utama negara yang bertanggung jawab dalam Keamanan Negara dan Penegakan Hukum di Indonesia. Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia, Polri telah menunjukan eksistensi dan turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun dalam perjalanannya begitu banyak dinamika yang terjadi. Mulai dari kedudukannya yang di bawah kemendagri, di bawah ABRI hingga berkedudukan langsung di bawah Presiden. Kemudian perubahan Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai pedoman hidup dan pedoman kerja anggota Polri. Hingga perubahan dasar Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun demikian, semua dinamika dan perjalanan panjang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Menjaga Keamanan dan menegakan hukum di Republik indonesia menunjukan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia semakin matang dan profesional dalam melaksanakan tugas – tugas kepolisian sebagaimana di amanatkan dalam Undang – undang. Hal ini di tunjukan dengan prestasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang luar biasa terutama di bidang terorisme dan Narkotika. Bahkan prestasi ini di akui oleh dunia Internasional.
Dengan demikian maka hendaknya seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan turut serta dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban serta mendukung Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas – tugas kepolisian demi tercapainya cita – cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila.



Tuesday, April 2, 2013

Hukum Progresif dan Polisi


Kuliah Antropologi Hukum pagi ini cukup menarik perhatian saya. Di bawa Pak Dosen muda dari Undip, Aditya Yuli Sulistyawan, SH., MH.
Berawal dari cerita tentang Hukum Progresif, jadi ada Guru Besar Fk. Hukum Undip Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo yang begitu terkenal di dunia Hukum Indonesia. Beliau merupakan pencetus Hukum Progresif ( Fak. Hukum Undip terkenal dengan Hukum Progresif nya ), Hukum Progresif itu intinya kita menggunakan kajian Ilmu Sosial untuk mengkaji Ilmu Hukum. Jadi kita ngga semata-mata menerapkan Law in The Book tapi mempertimbangkan aspek-aspek Sosial dalam Penerapan Hukum. Kalau Hukum Normatif kita benar- benar menerapkan Hukum secara Positivisme ( Law in The Book ). Yang tertulis di undang –undang, ya itulah yang di terapkan ( Bahasa lainnya saklek).
 Contoh nya kasusnya mbok Minah yang mencuri beberapa biji kakao lalu di tangkap dan di adili. Kalo secara Hukum Normatif memang itu harus di adili karena Mbok Minah telah mencuri (jelas dasar hukumnya di pasal 362 KUHP), tapi kalau kita menerapkan Hukum Progresif kita harus mempertimbangkan aspek-aspek Sosial dalam penerapan Hukum nya. Misalnya kita harus mempertimbangkan faktor latar belakang mbok Minah mencuri, faktor usia, faktor lingkungan, dsb. Atau kita lihat juga kasus kecelakaan di Banyumas, Seorang ibu memboncengkan anaknya menggunakan sepeda motor lalu mengalami kecelakaan. Anaknya tewas dan sang ibu mengalami luka parah di kaki nya. Berdasar pada pemeriksaan, sang Ibu dapat menjadi tersangka karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Tapi apakah adil seorang Ibu yang kehilangan anaknya bahkan kaki nya sendiri luka parah harus di hukum? Apakah mungkin ibu itu menginginkan terjadi kecelakaan seperti itu? Atas adanya pertanyaan – pertanyaan seperti ini kita harus menerapkan hukum dengan kajian – kajian Ilmu Sosial seperti Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi.
Setelah kuliah itu saya jadi bertanya dalam hati.
Apakah selama ini kita belajar hukum progresif memang kita di siapkan untuk jadi polisi yang menerapkan hukum secara Progresif atau hanya kebetulan karena Akpol yang di Semarang ini berkerjasama dengan Fak. Hukum Undip ? karena saya membayangkan kalo Unair ( Universitas Airlangga Surabaya terkenal mengajarkan Hukum Normatif ) misalnya pindah ke semarang kemudian berkejasama dengan Akpol untuk mengampu Mata Kuliah Hukum di Akpol, pasti yang di ajarkan adalah Hukum Normatif. Kalau itu terjadi kita ngga akan tahu Hukum Progresif itu seperti apa.
Kalau kita lihat adanya Kasus Mbok minah dan kasus-kasus semacamnya, artinya ada Polisi yang menerapkan Hukum secara Normatif dan ada juga Polisi yang menerapkan Hukum secara Progresif. Lalu Bagaimana Polisi seharusnya?
Hmmmm...Jadi itu top themes kuliah saya hari ini...
Thanks
#R. Maleo 5 , Graha Cendekia, Akademi Kepolisian Semarang

wilz end

makasih atas kunjungannya...
semoga selamat sampai tujuan...


W`ilz~en~Ciel production